Mainan Tradisional Dilirik untuk Bersaing di MEA

Metrotvnews.com, Jakarta: Pelaku usaha mainan mengaku tengah terpuruk di balik situasi pelemahan rupiah. Ketergantungan impor terhadap pemenuhan bahan baku ditengarai menjadi salah satu penyebabnya. Kini produsen lokal mulai melirik pengembangan mainan tradisional agar bisa bersaing di era pasar bebas masyarakat ekonomi Asean (MEA).

“Kabar MEA yang santer dimulai pada akhir tahun ini sebenarnya mendatangkan kekhawatiran bagi pelaku usaha mainan. Jujur kami belum siap menghadapi pasar bebas, sebab 65 persen kebutuhan bahan baku industri lokal saja masih tergantung impor,” tutur Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas usai memberikan seminar terhadap anggotanya di Jakarta, Rabu, 25 Maret 2015.

Melemahnya rupiah walhasil berdampak pada kenaikan biaya produksi mengingat pembelian bahan baku impor mengacu pada kurs dolar. Kondisi itu kian diperparah dengan menurunnya daya beli masyarakat. Apalagi, lanjut dia, mainan termasuk dalam kebutuhan sekunder. Sehingga masyarakat kini banyak mengesampingkan pembelian mainan.

Angka penjualan pun loyo. Tercermin pada omset yang turun drastis, dari rata-rata capaian Rp2 miliar menjadi Rp700 juta untuk satu perusahaan. Adapun pelaku usaha yang tergabung dalam AMI berjumlah 800 industri menengah ke atas. “Untuk home industry yang kecil-kecil tidak termasuk dalam karena itu kan jumlahnya banyak sekali ya,” ucap dia.

Agar tidak semakin merugi, banyak industrialis di sektor mainan pun mengakali dengan sejumlah upaya. Mereka terpaksa mengurangi jumlah karyawan (PHK), mengurangi jam kerja hingga pengurangan jumlah produksi mainan.

Lebih jauh dia mengungkapkan pelaku usaha tengah dilematis. Beban biaya produksi meningkat, namun mereka tidak berani menaikkan harga jual produk lantaran daya beli tengah melemah. Kendati terpuruk, Sutjiadi mengatakan pelaku usaha mulai mencari solusi. Salah satunya menggalakkan produk mainan tradisional yang kemudian dimodifikasi agar bisa bersaing dengan produk mainan modern.

“Sekarang kita sedang gencarkan pembinaan terhadap IKM (industri kecil menengah) untuk kembali mengembangkan mainan jadul (tradisional). Seperti kapal air, truk dari kayu bahkan gasing. Begitu juga untuk industri menengah ke atas kita arahkan ke sana, tentunya ini pelan-pelan bisa mengurangi ketergantungan pada impor,” paparnya.

Tidak menutup kemungkinan, ketika produksi mainan lokal semakin stabil dan mapan, maka keran ekspor bisa digenjot. Saat ini ekspor mainan anak-anak produksi Indonesia belum setenar Tiongkok atau Eropa. Berdasarkan data terakhir, ujar dia, baru ada dua industri berlokasi di Jakarta yang sudah melakukan ekspor. Itu pun pangsa pasarnya hanya negara Afrika dan sekitarnya.

“Ekspor sudah kita lakukan, tapi kuantitasnya masih sedikit. Kita belum bisa masuk ke pasar Eropa atau Tiongkok. Apalagi bahan baku kita masih impor, jadi untuk kualitasnya terbilang kalah dengan mereka,” ucap Sutjiadi.

Kembali menyikapi pasar bebas, saat ini pihaknya tengah gencar menyamakan persepsi dengan pelaku usaha lokal ihwal standardisasi mutu produk. Hanya saja dia mengeluhkan kebijakan pemerintah dalam pemberlakuan sertifikasi kelayakan atau biasa disebut Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pasalnya, prosedural pengurusan SNI selama ini dinilai berbelit, begitu pula biayanya terbilang mahal. Sebagai contoh, ungkap Sutjiadi, untuk mengurus SNI produk impor sekali pengiriman (shipping) dibebankan biaya minimal Rp75 juta, sedangkan skala lokal sebesar Rp35 juta dengan kuota yang sama.

“Pemerintah perlu lagi mengkaji aturan SNI. Kami setuju jika kualitas harus ditingkatkan, tapi kebijakan yang ada itu sering menambah beban. Untuk jangka waktu berlaku SNI, kalau bisa jangan sebentar. Masa hanya enam bulan? Padahal biayanya mahal. Baiknya berlaku sekitar satu tahun,” cetus dia.

Di lokasi yang sama, pengamat ekonomi Christian Wibisono memberikan motivasi kepada pelaku usaha mainan yang tidak boleh pesimistis menghadapi MEA. Menurutnya, era pasar bebas bisa menjadi momentum meningkatkan industri kreatif dan memberdayakan potensi lokal.

Hal ini juga memacu pelaku usaha untuk menemukan sesuatu yang baru, tidak hanya sekedar mengikuti tren mainan yang berkembang di luar sana. Sebab dia menyadari industrialis mainan cukup tergantung pada pasokan impor.

“Jangan offensive, kita harus percaya diri. Kualitas produk Indonesia itu tidak kalah. Mengapa kita harus tergantung impor? Harusnya kembangkan produk-produk lokal dari IKM. Untuk daya saing di bidang seni, Indonesia itu unggul sebenarnya,” ujar Christian berapi-api. WID