Salah satu bukti dari rasa sayang dan cinta kepada anak-anak kita adalah pemberian hadiah berupa mainan. Namun, alangkah sedihnya ketika mainan yang kita berikan ternyata berbahaya atau mengandung racun, mudah melukai atau berpotensi mencelakakan anak kita. Kita semua tentunya sepakat bahwa akan memberikan yang terbaik bagi anak kita, termasuk mainan. Kita akan memberikan mereka sesuatu yang aman dan tidak berbahaya bagi mereka. Untuk itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Perindustrian, mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian nomor : 24/M-IND/PER/4/2013 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan secara wajib.
Dalam peraturan ini ada SNI yang wajib diterapkan yaitu SNI ISO 8124 2011 (1 – 4) dan atau sebagian parameter dari EN 71-% untuk Ftalat, SNI 7617 : 2010 untuk parameter Non Azo, dan SNI 7617 : 2010 untuk parameter Formaldehida.
Terkait hal tersebut, Badan Standardisasi Nasional bersama dengan DPW Masyarakat Standardisasi Indonesia wilayah DI Yogyakarta menyelenggarakan Sosialisasi Penerapan Wajib SNI Mainan Anak, pada tanggal 17 Desember 2013 Di Hotel Mutiara, Yogyakarta. Acara yang dibuka oleh Dewi Odjar Ratna Komala – Deputi Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi, menghadirkan nara sumber Nyoman Supriyatna – Kepala Pusat Perumusan Standar, Richard Nainggolan – Ditjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Sudarman Wijaya – Sekjen Asosiasi Perusahaan Mainan Indonesia (APMI) dan Evi W – Direktur LSPro Toegoe, Yogyakarta.
Dalam kesempatan ini Dewi Odjar menyampaikan bahwa acara sosialisasi ini diselenggarakan dengan tujuan mensosialisasikan peraturan ini kepada para pelaku usaha mainan anak agar tidak gagap pada waktunya nanti. Peraturan ini diterapkan untuk Melindungi konsumen atas keselamatan, keamanan dan kesehatan, khususnya pada bayi dan anak. Selain itu, penerapan SNI juga diharapkan meningkatkan daya saing industri nasional dan menjamin mutu hasil industri dan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan adil.
Dalam sesi pertama, Nyoman Supriyatna menjelaskan “ SNI ISO 8124 terdiri dari 4 bagian, yaitu SNI ISO 8124 – 1 yang berlaku untuk semua mainan. Standar ini berlaku untuk mainan pada saat awal diterima konsumen, dan sebagai tambahan, setelah mainan digunakan pada kondisi normal serta perlakuan kasar kecuali ada keterangan khusus.. Selain itu, Persyaratan SNI ISO 8124 – 1 ini menerangkan kriteria yang dapat diterima untuk karakteristik struktur mainan, seperti bentuk, ukuran, kontur, pengaturan jarak (misalnya kerincingan, bagian-bagian kecil, ujung dan tepi tajam, dan celah garis engsel) sebagaimana kriteria yang dapat diterima untuk sifat tertentu dari beberapa kategori mainan (seperti nilai energi kinetik maksimum untuk proyektil yang ujungnya tidak memantul (non-resilient tipped projectile) dan sudut ujung minimum (minimum tip angles) untuk mainan yang dinaiki (ride-on toys)”. SNI ISO 8124 – 2 yang mengatur tentang kategori bahan mudah terbakar yang dilarang digunakan pada semua mainan, dan persyaratan mudah terbakar pada mainan tertentu ketika terkena sumber api yang kecil. SNI ISO 8124 – 3 menentukan persyaratan maksimum dan metoda sampling dan ekstraksi sebelum uji untuk migrasi dari unsur antimoni, arsen, barium, kadmium, kromium, timbal, merkuri dan selenium dari bahan mainan dan bagian mainan kecuali bahan yang tidak dapat diakses.
Bagian dari ISO 8124 – 4 menetapkan persyaratan dan cara uji mainan aktivitas untuk penggunaan keluarga yang ditujukan bagi anak-anak di bawah 14 tahun untuk bermain di dalamnya. Produk yang tercakup di bagian ISO 8124-2 ini termasuk ayunan, seluncuran, jungkat-jungkit, korsel/komedi putar ( komidi putar ), tunggangan bergerak, papan panjatan, ayunan bayi, dan produk lainnya yang ditujukan untuk menahan beban satu atau lebih anak.
Pembicara kedua, Richard Nainggolan menjelaskan “Beragam mainan beredar di pasaran dengan harga relatif murah, kebanyakan mainan ini mengandung bahan kimia berbahaya. Sebut saja, timbal, ftalat, dan merkuri. Zat-zat ini terdapat dalam mainan, baik pada bahan plastik/karet yang digunakan agar lebih fleksibel, cat dengan warna yang menyolok (ngejreng) yang mengandung kadar timbal tinggi”. “Senyawa kimia tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti menyebabkan keracunan pada otak, mengganggu sistem syaraf, melemahkan zat-zat pembangun tulang yang mengakibatkan osteoporosis, serta menghancurkan hormon testosterone pada anak laki-laki, yang menyebabkan si tampan cenderung feminim”. Hal inilah yang menyebabkan Pemerintah Menerbitkan peraturan pemberlakuan SNI wajib tersebut.
Dalam sesi kedua yang mengadirkan Sudarman Wijaya dan Evie W, suasana juga bertambah hangat. Dalam presentasinya, Sudarman wijaya menjelaskan bahwa “ Dengan semangat positif dan membandingkan pro dan kontra pemberlakuan SNI Mainan secara wajib, Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) menghimbau semua produsen mainan di Indonesia untuk bekerja keras dan siap mensukseskan pemberlakuan SNI Mainan”. Tekad ini timbul karena, industri mainan anak semakin kalah dengan produk-produk impor. Disesi terakhir, Evie W menjelaskan “Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang ditunjuk sebanyak 8 Lembaga, dengan kondisi 2 LSPro telah diakreditasi, sedang 6 LSPro dalam proses akreditasi. LS Pro ini didukung oleh 8 Laboratorium uji, dengan kondisi 5 laboratorium telah diakreditasi, sedang 3 laboratorium dalam proses akreditasi”.
Dalam sesi diskusi banyak pertanyaan yang dating dari para peserta, utamanya adalah bagaimana cara mendapatkan SPPT SNI dan berapa biayanya. Selain itu ditanyakan juga tentang program insentif dari Pemerintah, mengingat produsen mainan anak di Yogyakarta dan sekitarnya merupakan pelaku UKM. Untuk pertanyaan pertama, Ibu Evie mengarahkan para peserta untuk mengakses situs LS Pro Toegoe atau Balai Besar Kerajinan Batik, atau datang langsung ke Jl. Kusumanegara Yogyakarta. Untuk, memudahkan prose’s sertifikasi, pelaku usaha dapat mengelompokkan produknya dalam 1 kelompok atau families. Sedangkan untuk program insentif, Polin dari Dinas Perindagkop & UKM – Yogyakarta mengarahkan para pelaku usaha mainan untuk membentuk paguyuban/asiosiasi sehingga memudahkan Dinas dalam melakukan pembinaan. (btw)
Sumber : BSN